Friday, August 17, 2012

Fasting should be done 18 hours in France

Translate Request has too much data
Parameter name: request

KOMPAS.com - Beberapa hari setelah bulan Ramadhan bergulir, berita terangkat di media. Empat orang muslim dipecat karena melakukan puasa. Keempat pemuda muslim itu bekerja atas kontrak walikota Gennevilliers, sebagai pembimbing anak-anak. Perancis adalah negara laicité, negara dan agama terpisah. Semua simbol keagamaan, harus dilepas saat bekerja bagi pemerintahan atau berada dalam lingkungan milik pemerintahan.

Debat, mengenai jilbab hingga daging halal hingga kini terus menggema. Sebagian tak setuju umat Islam mendapatkan prioritas utama dalam menjalankan keyakinannya. Selebihnya, tak peduli. Karena menurut mereka tak mengganggu kehidupan sehari-hari, jadi mengapa harus diributkan.

Pemecatan empat pemuda yang bekerja sebagai pembimbing anak-anak dikeluarkan karena melakukan puasa, tentu saja membuat kaum muslim gundah. Alasan keempatnya yaitu Samir, Moussa, Nassim et Mehdy diberhentikan dari pekerjaan mereka karena dianggap berpuasa membahayakan kesehatan mereka, yang bisa berakibat fatal dalam pekerjaan mereka membimbing anak-anak.

Meskipun mereka mencoba menerangkan jika puasa tak akan membahayakan kesehatan mereka, karena sebelum menjalankan ibadah tersebut mereka telah mengisi tubuh mereka dengan makanan dan minuman. Tak digubris.
Tentu saja hal itu, membuat para pemeluk Islam menjadi marah. Bukan muslim pun menjadi kesal, karena menurut mereka, begitu banyak negara Islam di dunia, yang melaksanakan ibadah puasa setahun sekali, tanpa harus berhenti beraktivitas.

Kaum muslim sendiri mencoba menerangkan, puasa itu juga memakai strategi. Perut tak akan dibiarkan kosong begitu saja. Karena sebelum menjalankan puasa, tentu saja kesehatan harus prima, mengisi tubuh dengan makanan dan minuman penting, dan jika badan tak sanggup menjalankan, maka umat Islam tersebut diperbolehkan membatalkan dan menggantikannya di hari lainnya.

Jadi dalam agama pun tak ada pemaksaan, dan bukan berupa penyiksaan fisik melakukan puasa itu. Tetap saja orang dari wali kota tersebut tak bisa menerimanya. Dan mereka bersikeras, orang yang melakukan puasa, tak akan bisa beraktivitas secara normal. Apalagi dalam kontrak kerja mereka tertera kewajiban bagi, pembimbing dan pengasuh anak harus memperhatikan makanan dan minuman mereka, demi kepentingan pekerjaan.

Hal ini sebenarnya sering mampir di telinga saya. Mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin, saya tak mengisi tubuh dengan cairan, selama berjam-jam. Padahal suhu di musim panas sangat membahayakan tubuh jika kekurangan cairan.

Dan mereka lebih terkejut lagi, saat tahu anak kami yang baru berusia dua belas tahun, juga ikut melaksanakan puasa. Komentar yang kerap terlontar adalah, ‘bagaimana mungkin, kamu membiarkan anakmu tanpa makan dan minum selama delapan belas jam? tak tersiksakah anak kamu itu?.

Bila saya yang menerangkan, mereka kadang menganggap kami inilah yang memaksa anak kami untuk berpuasa. Kesannya itu loh, kami berdua orang tua yang gimana gitu…

Karena itulah saya selalu memanggil anak saya, agar dirinya sendiri yang menerangkan mengapa dia berpuasa dan apakah berupa paksaan dari kedua orang tuanya. Jangankan teman kami, dari keluarga kang Dadang (David) sendiri pada awalnya, tak setuju. Bukan karena masalah agama, tapi rasa khawatir, anak kami jatuh sakit.

Keluarga suami bingung. Karena bagi mereka mana mungkin seseorang bisa bertahan tanpa minum! Itu yang menurut mereka paling tak masuk akal. Namun setelah diterangkan, saya pun awal mengenal puasa memakai proses. Latihan diri sejak kecil, jam waktunya pun tak langsung penuh, semuanya dilakukan tahap demi tahap. Hingga tubuh menjadi kenal, dalam setahun terbiasa menjalankan ibadah ini, tanpa menganggu aktivitas keseharian.

Dan anak saya Adam, juga mulai berlatih sejak usia sembilan tahun. Tentunya dengan waktu yang menurut kemampuannya, dan juga irama sekolahnya. Karena bagi seorang anak, berpuasa saat bersekolah, sementara kebanyakan temannya tak mengenal Ramadhan, tentu saja sulit.

Karena keluarga dan teman Perancis, sudah terbiasa dengan kegiatan setahun sekali ini, maka kini sudah tak aneh, bagi mereka. Tak ada lagi pertanyaan, tak tersiksakah? tubuhmu tak dehidrasikah? Karena kenal itulah mereka menjadi biasa.

Politik toleransi keagamaan bagi negara Laicité seperti Perancis, tergantung kepada masyarakat di daerahnya. Ada yang menerima dengan mudah perbedaan agama ada juga yang masih kolot.

Bila di kota Gennevilliers, sulit menerima adanya pegawai mereka yang melakukan ibadah keagamaan, di kelurahan tempat saya tinggal, justru tempat olah raga diizinkan untuk menjadi tempat shalat jumat dan kini untuk ibadah tarawih. Karena banyaknya kaum muslim yang tinggal dan masjid kecil tak bisa menampung semuanya. Sementara masjid besar, berada jauh di pinggiran Montpellier. Bahkan buka puasa bersama pun diadakan di taman milik pemerintah (maison pour tous).

Tentu saja tak semuanya suka dengan perubahan ini. Tetangga saya misalnya, saat melihat taman dan gedung olah raga diperbolehkan untuk ibadah, protesnya luar biasa pada saya.

‘Kamu lihat tidak dari atas terasmu, tadi malam taman depan tempat tinggal kita penuh wanita tertutup, sampai muka-mukanya… lalu tiap malam saya dengar mereka kumpul nyanyi-nyanyi, entah apa itu, yang saya tahu sekarang adalah Ramadhan, kan mestinya tak boleh dipakai milik pemerintah’.

Tentu saja saya geli, karena dirinya mengadu kepada yang justru salah satu pengunjung tempat yang diprotesnya. Dengan sungkan saya terangkan, jika saya pun pernah ikut berbuka puasa di sana, atau tarawihan. Bahkan tahun lalu  saya sampai ke masjid besar di Montpelliernya.

Tetangga wanita saya itu sampai terbelalak ketika tahu, saya adalah muslim. Dirinya  heran, karena dipikir mengapa wajah saya tak ditutup seperti wanita muslim lainnya? Dan jadilah obrolan melebar kepada penerangan bagi wanita tersebut mengenai pilihan berpakaian dan agama yang saya anut. Saya pikir sikapnya akan berubah setelah tahu jika saya Islam, yang ada malah saat kami berpapasan, dirinya bertanya kondisi saya, jika saya baik-baik saja menjalankan puasa dengan panasnya cuaca yang menyengat.

Berpuasa di suatu negara yang tak berpijak kepada agama, tantangannya memang lebih besar. Tahun ini, saya tak mendapatan rezeki waktu untuk menikmati indahnya menjalankan ibadah ramadan, di kampung halaman, bersama saudara seiman.

Puasa di Perancis tentu saja sudah sering saya jalani. Hanya semenjak jatuh di musim panas (Juli-Agustus), kami sekeluarga biasanya menjalani rukun Islam yang ketiga itu di Indonesia. Karena bertepatan dengan liburan sekolah anak-anak dan alasan lain, karena tahu puasa di musim panas….bukan hanya hawa panasnya itu yang berat tapi pemandangan saat iklim panas, juga kerap menggoda mata.

Delapan belas jam adalah waktu perkiraan untuk menahan haus dan lapar juga mengendalikan emosi diri. Saya yang berada di Perancis selatan harus ikhlas dengan dengan suhu rata-rata sekitar 35 derajat hingga 40 derajat. Hawa yang panas bukan? Musim panas di Perancis tak sama dengan iklim panas di negara tropis, seperti Indonesia yang lembab.

Di sini musim panas, matahari seolah di atas kepala kita, menyerang, sakit sekali. Dan yang membuat badan tak enak adalah gelombang hawa panas yang datang. Menyusup dalam ruangan, membuat tubuh bagaikan dehidrasi. Maklum, kebanyakan memang kediaman di Perancis tak mengenal AC. Karena tujuh bulan dalam setahun, cenderung kepada pemanas ruangan.

Iklim di Perancis selatan, seperti kota saya Montpellier memang tak bisa disamakan dengan daerah di Perancis lainnya, jumlah waktunya pun berbeda, dalam berpuasa. Ya… layaknya di Indonesia lah, ada bagian daerah yang mataharinya terbit lebih belakangan dan terbenam lebih dahulu. Kalau kota, saya kebalikannya, terbit sang raja sinar lebih dahulu dan tenggelamnya belakangan. Magrib tiba saat jarum jam hampir mendekati angka sepuluh dan tarawih baru bisa dilaksanakan satu jam menjelang tengah malam.

Jujur, namanya juga manusia, rasa ragu itu ada. Saya bertanya-tanya, mungkin nggak ya, puasa dengan tantangan iklim bisa saya jalani dengan khusyuk? Dan bisakah, si sulung Adam, ikut menikmati ibadah ini, tanpa mengganggu kesehatannya?

Otak adalah mesin paling canggih yang dibuat oleh Tuhan. Niat yang memerintahkan kepada mesin tersebut terbukti memang. Delapan belas jam, Alhamdulillah bisa kami jalani sekeluarga, layaknya berpuasa di musim lainnya. Tak usahlah mengambil contoh kepada saya, karena wajar saya ini kan sudah dewasa, dan berpuasa sejak cilik di Indonesia. Namun anak kami yang paling besar, yang membuat orang tuanya haru.

Dirinya memang sejak usia sepuluh tahun sudah mulai berpuasa penuh, dengan jumlah waktu di tanah kelahiran ibunya, dan suasana Ramadhan yang kental dari lingkungannya. Namun tahun ini, tak ada acara kesukaannya sambil bersahur. Ayam goreng empuk ‘Suharti’ tak bisa dia cicipi agar nafsu makannya bertambah.

Alhamdulillah, dengan tenang dia jalani sahur, sesuai irama ibunya yang menyiapkan menu sahur sistim cepat. Dua sandwich dengan isi yang berbeda, begitu nafsunya dia makan. Segelas susu hangat yang dihidangkan ibunya, diteguknya setelah mencium pipi saya sambil mengucapkan, "Terima kasih mamah".

Berwudhu dan shalat subuh bersama, ditunggunya dengan sabar. Meskipun dirinya sempat berkali-kali mengenang, ‘ahhhh kalau di rumah kita di Jakarta, nunggu subuh sambil liat acara lucu-lucu ya mah di tv, lalu sepuluh menit sebelum subuh, sama papa ke masjid deh, shalat di sana…di sini sedih ya mah, tidak bisa..’

Tentu saja, hal ini kerap membuat saya jadi berkaca-kaca. Bukan hanya karena tak selalu bisa menghadirkan keindahan Ramadhan buat dirinya di rumah kami di Indonesia, namun justru karena, buah hati saya masih bisa mengenang nikmatnya berpuasa.

Karena itu, saya jadi merenung, memikirkan teman serumpun yang merantau untuk alasan kerja atau sekolah, betapa sulitnya mereka menjalankan ibadah ini, tanpa dukungan dari orang-orang terdekat. Karena kebanyakan memang, beberapa pelajar Indonesia yang saya kenal, mereka merantau sendiri. Namun, kewajiban melaksanakan ibadah setelah shalat lima waktu ini, tetap mereka pegang teguh, salut!

Bagi mereka yang pernah melaksanakan ibadah puasa di perantauan di sebuah negara yang mayoritas non muslim, pasti akan merasakan beratnya memupuk niat awal untuk menjalankannya. Lingkungan yang tak mendukung, apalagi jika dilakukan sendirian. Karena memang banyak pasangannya yang tak turut melakukan, membuat semangat jadi melempen.

Ayah saya selalu berkata, Tuhan tidak akan memerintahkan sesuatu kepada umatnya di luar batas kemampuannya. Saat manusia merasa, yang harus dijalani adalah diluar kapasitasnya sebelum mencoba, memang bisa saya maklumi karena dorongan semangat itu tak didapat, apalagi dari orang terdekat dan tempat kita menampung.

Namun, tanpa saya ingin berceramah ya…, sejauh ini, saya sendiri merasakan, saat hawa menggigil puasa bisa saya lakukan, ketika panas menyengat, alhamdulillah Ramadhan masih bisa saya jalani. Hanya memang, dorongan semangat itu saya dapatkan dari orang tersayang. Apalagi kini buah hati telah hadir setiap sahur membuat semangat menjadi berlipat, dalam memenuhi kewajiban sebagai umat Islam.

Kepada pembaca saya ucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri dan Mohon Maaf Lahir Batin... (DINI KUSMANA MASSABUAU)

No comments:

Post a Comment