Tuesday, August 21, 2012

Komunalisme Luhur di Pesisir Papua

AppId is over the quota
KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO Seorang penari wor sedang melewati batu membara dalam atraksi yang disebut Apen Bayeren. Atraksi itu ditampilkan dalam pembukaan Pekan Budaya Munara Wampasi, awal Juli lalu, di Biak, Papua.

MESKIPUN tanpa bumbu, ikan baronang bakar itu terasa sangat lezat. Bara dan asap dari pelepah dan tempurung kelapa kering memberinya aroma khas yang nikmat. Beberapa pemuda duduk melingkar di sekitar perapian kecil itu.

Tak jauh dari mereka, di tepi pantai berbatu, seorang nenek kurang lebih berusia 65 tahun tengah membersihkan seekor ikan kakap putih yang diterimanya dari mereka.

Ada sembilan ekor ikan diperolehnya dari anak-anak muda itu. Seusai membersihkan ikan tersebut, ia turut menumpangkan kakap putih itu di atas bara perapian.

Dari dalam tas yang disandangnya, nenek itu mengambil dua buah keladi rebus dan diberikannya kepada anak-anak muda itu. Ia mengulurkannya sambil tersenyum riang, menampakkan deretan giginya yang memerah karena kerap memakan sirih-pinang.

Pasir pantai yang hangat dan laut yang menghampar luas melengkapi makan siang sederhana itu.

Snap mor, pesta menangkap ikan belum sepenuhnya rampung digelar di Tanjung Barari, Biak Timur, tetapi karena matahari telah tepat di atas kepala, sebagian warga Biak yang hadir dalam pesta itu beristirahat. Di bawah teduh pohon nyiur, hasil tangkapan dinikmati bersama.

Guyuran air kelapa muda yang diambil dari pohon tempat mereka berteduh serta mengunyah sirih-pinang menggenapi pesta itu. Kebersamaan itu mengingatkan pada kata-kata Nico Morin, seorang staf di Dinas Pariwisata Kabupaten Biak Numfor.

Ekspresi budaya

Snap mor adalah pesta syukur. Semua warga boleh ikut serta menangkap ikan yang terjebak di perairan dangkal dan telah dipagari dengan jala itu. Biasanya, mereka yang lanjut usia tidak ikut aktif menangkap ikan. Dulu para pemudalah yang menyisihkan hasil tangkapan mereka untuk diberikan kepada orang-orang tua itu.

”Saya ingin melihat apakah tradisi itu masih ada. Atau sebaliknya orang sudah tidak peduli lagi dengan orang lain disekitarnya. Pokoknya saya dapat, sudah,” kata Nico.

Kegelisahan Nico dapat dipahami. Meskipun bagi banyak orang, Biak tidak berubah secara fisik, tetapi empasan budaya baru yang terus mengalir ke pulau karang yang dihuni oleh lebih dari 130.000 jiwa itu dapat mengancamnya.

Persaingan ekonomi dengan pendatang dan upaya pemenuhan kebutuhan yang terus meningkat perlahan-lahan dapat mengisap habis potensi alam Biak. Namun, meskipun zaman telah berubah, tradisi itu ternyata tetap hidup.

Buktinya, siang itu mereka yang lanjut usia memperoleh berbagai jenis seperti baronang dan kerapu dari para pemuda atau anak-anak yang turun ke laut. Sebagian ikan itu dibakar dan dinikmati bersama.

Ekspresi budaya itu seolah menegaskan apa yang diungkapkan oleh tokoh adat Biak, Mananwir Yarangga, sebagai syukur. Syukur atas berkat itu, menurut dia, tidaklah dialami sendiri, tetapi bersama dengan semua kerabat dan komunitas.

Pada zaman di mana sikap ’demi aku’ unggul daripada ’untuk kita bersama’ toh nilai-nilai komunal itu tetap terjaga. Bagi Mananwir, nilai-nilai kebersamaan itulah yang, menurut dia, menjadi salah satu unsur penting dalam pesta adat atau biasa disebut munara. Hidup tidak hanya dialami sendiri, tetapi juga dalam intimitas bersama dengan yang lain dan Yang Ilahi.

Simbiosis

Meskipun tinggal bersama di sebuah pulau yang dikelilingi laut dalam, masyarakat Biak hidup dalam dua tradisi, yaitu melaut dan berkebun. Mereka yang hidup di tepi pantai menggantungkan hidupnya terutama pada laut. Sementara mereka yang tinggal di bagian tengah pulau umumnya hidup dari hasil perkebunan sayur-mayur.

Pasar ikan di jantung kota Biak menjadi wujud pertemuan dua tradisi itu. Di sana dijual beraneka macam sayur yang didatangkan dari bagian tengah pulau serta ikan-ikan yang ditangkap oleh para nelayan yang tinggal di pesisir.

Menurut Nico Morin, saat munara digelar, masyarakat Biak biasanya tidak mendatangkan makanan lain yang dibeli dari luar Biak. Ia menjelaskan, dalam munara biasanya masyarakat Biak menyajikan ubi dan sayur- mayur serta sagu yang diambil dari kebun mereka atau dari kerabat mereka di dusun-dusun. Makanan itu dipadu dengan lauk yang diperoleh dari laut entah itu ikan, kepiting, udang, dan penyu.

Boleh jadi pemerintah melihat ekspresi itu tak hanya mengandung nilai-nilai budaya unggul. Di sisi lain, ekspresi itu juga memiliki potensi yang mampu mewakili dan menampilkan wajah Biak yang layak dikenal oleh komunitas masyarakat lainnya.

Saat membuka Pekan Wisata Munara Wampasi, awal Juli lalu, Bupati Biak Numfor Yusuf M Maryen menegaskan, pekan wisata itu diharapkan tidak hanya mempromosikan obyek-obyek wisata unggulan di Biak dan membuka peluang investasi dan kerja bagi masyarakat lokal saja.

Sebagai wilayah yang terdiri dari dua pulau besar, yaitu Biak dan Numfor serta pulau-pulau lain di sekelilingnya, kawasan itu memiliki lokasi wisata laut yang luar biasa. Sebut saja Pantai Bosnik yang berada di timur kota Biak. Pantai itu berhadapan dengan Pulau Owi yang semasa Perang Dunia II menjadi basis militer dan armada udara tentara sekutu.

Lalu Pulau Padaido yang memiliki koleksi terumbu karang yang tergolong indah. Tak hanya itu, di beberapa lokasi penyelaman, dapat ditemukan pula reruntuhan mesin-mesin perang yang ditinggalkan sekutu.

Di Biak juga terdapat beberapa lokasi wisata yang menarik, seperti Goa Jepang dan Taman Anggrek. Di sisi lain, Biak berada pada 0055’-1027’ LS memiliki potensi ekonomi sebagai basis peluncuran satelit. Basis itu menggunakan landasan pacu Bandara Frans Kaisiepo untuk menerbangkan pesawat yang mengangkut pesawat ulang-alik. Namun, hingga saat ini terkait hal itu belum ada kepastian.

Tampaknya Pemerintah Kabupaten Biak mencoba melihat peluang lain, yaitu promosi wisata terutama kelautan sebagai sarana mengembangkan kemandirian wilayah. Karena disadari potensi itulah yang menjadi basis hidup masyarakat Biak sendiri. Turun-temurun mereka bergaul akrab dengan laut dan menjadikan laut sebagai bagian integral hidup mereka.

Lebih dari itu, pekan wisata itu dapat menjadi sarana untuk melestarikan nilai-nilai unggul masyarakat Biak. Salah satu hal menarik dalam upacara pembukaan pekan wisata itu, ditampilkan atraksi apen bayeren. Atraksi itu mempertunjukkan beberapa penari wor berjalan tanpa alas kaki di atas batu karang yang telah membara.

Sebelum melintasi hamparan baru membara itu, para penari itu hanya mengolesi telapak kaki mereka dengan minyak. Pukulan tifa dan nyanyian dari para penari lain membuat suasana seolah menjadi mistis.

Menurut Yusuf M Maryen, atraksi itu pernah ditampilkan di Bali dan mengundang decak kagum penonton. Namun, bagi Yusuf, yang layak disimak dari atraksi itu adalah situasi hati di penari. ”Tidak boleh ada rasa sombong, orang yang melakukan harus berhati bersih,” ujarnya.

Simbiosis pantai-gunung sebagaimana diperlihatkan dalam pesta snap mor dapat ditemukan pula dalam simbiosis antara promosi wisata dan pelestarian nilai budaya. Pada satu sisi potensi itu tidak hanya dimaknai melulu secara ekonomis, tetapi berharga dalam relasi sosial-kultural. Namun itu tidak mudah.

Menurut Mananwir Yarangga, kekayaan ekspresi budaya itu tidak dapat dikembangkan jika hanya menampilkan aksesori seni saja. Ia mengatakan, jika dalam Pekan Wisata Munara Wampasi ditampilkan drama atau fragmen tentang pesta perkawinan, sebaiknya pesta tersebut disajikan asli.

Mananwir berharap, dengan menghidupkan lagi kekayaan budaya lokal, nilai-nilai lain yang terkandung di dalamnya dapat turut dilestarikan. Masyarakat kembali bersama-sama mengalami peristiwa budaya itu, dan mencecapi nilai-nilai luhur nenek moyang mereka. (B JOSIE S HARDIANTO)

No comments:

Post a Comment